Selain dikenal sebagai pusat daya tarik wisata, Bali merupakan titik nadi inspirasi bagi para seniman. Di Neka Art Museum, sebuah bangunan luas yang berlokasi di tengah Jalan Raya Sanggingan Campuhan, sebanyak tujuh pavilion dipersembahkan sebagai wadah pamer bagi lukisan-lukisan, foto, karya pahat,
hingga keris yang dikumpulkan oleh Pande Wayan Suteja Neka. Ia merupakan seorang guru, pencinta, dan kolektor lukisan yang berasal dari keluarga seniman. Ayahnya, Wayan Neka (1917-1980), merupakan seorang pemahat yang mendapat penghargaan sebagai Pemahat Terbaik Provinsi Bali pada tahun 1960.
Sedari kecil, Suteja Neka sudah akrab dengan berbagai karya seni dalam bermacam-macam rupa. Terdorong oleh prestasi sang ayah, ia membuka lembaran baru di dunia seni rupa, yaitu menjadi kolektor dan kurator untuk karya-karya yang bermutu tinggi.
Lengkap dengan Lukisan Bertema Indonesia
Setelah membayar tiket masuk seharga Rp75.000, lo akan disapa oleh bangunan bergaya arsitektur tradisional Bali yang memamerkan ratusan lukisan di dalamnya. Pada setiap sisi lukisan, disediakan deskripsi singkat dalam bahasa Inggris dan bahasa Jepang tentang siapa nama pelukisnya, masa hidup sang pelukis, media lukisan, hingga penjelasan akan lukisan tersebut. Setiap melangkah, lo bisa mendapatkan wawasan seni baru secara historikal, diawali dari seni lukis klasik wayang gaya Kamasan.
Di ruang pertama, lo akan melahap karya-karya bertema cerita tradisional yang diambil dari Epos Ramayana, Mahabharata, tari-tarian tradisional seperti Tari Oleg Tambulilingan, Tari Jegeg, hingga cerita roman legenda-legenda dari Jawa dan Bali. Beberapa pelukis ternama Bali seperti Ida Bagus Made, Dewa Putu Bedil, Anak Agung Gde Sobrat, dan Ida Bagus Rai menceritakan tema kehidupan sehari-hari di Bali, seperti tradisi masyarakat dalam upacara-upacara keagamaan. Kalau mata jeli membaca setiap deskripsi yang ada, lo bisa menemukan lukisan dari beberapa pelukis yang pernah mendapat penghargaan seni seperti Affandi, S. Sudjojono, Srihadi Soedarsono, Widayat, Nasyah Djamin, Bagong Kussudiardja, Ahmad Sadali, dan Abas Alibasyah.
Koleksi Lukisan Kontemporer
Perlahan namun pasti, irama lukisan bergaya klasik tradisional mulai bergulir dan berubah. Lama kelamaan, lo akan memasuki area pavilion dengan koleksi lukisan kontemporer. Hasil karya pelukis-pelukis di sini dikelompokkan berdasarkan indikasi dan gejala perkembangan seni rupa Indonesia. Terdapat lukisan modern Indonesia yang beraliran ekspresionisme hasil karya pelukis dari luar Bali seperti Anton Kustia Widjaja, Soebroto, Roedyat, Jeihan, Nashar, Chusin S., Tedja Suminar, Hardi, dan Rudolf Usman. Ada juga aliran abstrak yang dikibarkan oleh Frans Nadjira. Mantan pelukis istana kepresidenan pada zaman Soekarno, Dullah, juga menyumbangkan hasil karyanya yang teguh memegang aliran realisme dengan kepiawaian seorang realis otodidak.
Beranjak ke gedung berikutnya, lo akan berkenalan dengan sosok Adrianus Wilhelmus ‘Arie’ Smit. Mengunjungi Bali pada tahun 1956 dan jatuh cinta pada keindahan alam Bali, ia pun memutuskan untuk menetap. Kecintaannya akan Bali tetap ia pupuk dan eksplor dengan berpindah-pindah tempat tinggal sebanyak 22 area di Bali, mulai dari Saba, Mengwi, Penestanan, Candidasa, Sanur, Lovina, hingga akhirnya berdiam cukup lama di Ubud.
Selama itu pula, Arie Smit menorehkan keindahan Bali melalui goresan-goresan imajinasinya untuk menceritakan keindahan cahaya yang ia tangkap. Panorama pedesaan, persawahan, gunung, taman bunga, irama batin masyarakat yang melakukan upacara di Pura, hingga pemandangan kota Bali, semua dituturkan oleh Arie melalui sapuan kuasnya yang bergelimang warna. Koleksi lukisan Arie Smit tentang Bali tersaji di Gedung II, yaitu Pavilion Arie Smit, sebuah nama yang disematkan sebagai penghormatan atas jasanya.
Selain Arie Smit, masih ada karya seniman-seniman kelahiran luar negeri lainnya seperti Antonio Blanco, Rudolf Bonnet, Miguel Covarrubias, W.O.J. Nieuwenkamp, Theo Meier, Donald Friend, Brett Whitely, Lee Man Fong, Louise Garrett Koke, Willem Gerard Hofker, J.E. Navaro, Roger San Miguel, Teng Nee Cheong, Chang Fee Ming, Paul Nagano, dan Ong Kiem Seng.
Tak Hanya Lukisan, tapi Juga Seni Rupa dan Seni Pahat
Setiap ruangan menyajikan rasa yang berbeda dari koleksi lukisan yang dipajang. Sesekali lo akan melihat beberapa buku tentang seni disediakan di atas meja, seakan mengundang untuk dibaca. Di setiap ruangan juga terdapat karya patung pahat dari kayu diletakkan di tengah-tengah. Seperti pahatan hasil karya I Made Supena berikut ini, bertema “Generasi” yang dipahat menggunakan media kayu nangka, kayu suar, dan kayu kamboja. Terdapat sembilan buah figur pahatan berbentuk serupa embrio, dan lima buah sketsa gambar sebagai lambang representasi akan kelahiran generasi dan kreativitas yang baru.
Di sebuah siku sebelum menuruni tangga, perhatian lo akan tertuju kepada sebuah figur pahatan besi yang berbentuk lima jari. Karya I Pande Ketut Taman bertema “Diri Dalam Jari” ini menjelaskan arti dari masing-masing jari: jempol sebagai simbol ibu yaitu ‘protection, shelter’, telunjuk sebagai simbol ayah yaitu ‘wisdom, leadership’, jari tengah sebagai simbol pria berperut buncit yaitu ‘selfishness, arrogance’, jari manis sebagai simbol pengantin yaitu ‘faith, devotion’, dan terakhir jari kelingking sebagai simbol anak yaitu ‘innocence, sweetness, affection’. Setiap memasuki ruangan baru, rasanya seperti mendapatkan kejutan berbeda-beda.
Urbaners, kalau ingin menikmati semua koleksi seni di Neka Art Museum, sebaiknya luangkanlah waktu setidaknya 2 jam. Jangan lewatkan gedung III yang merupakan ruang pameran dimana arsip foto-foto khusus karya Robert Koke dari Amerika. Dalam potret hitam putih, ia mengabadikan suasana Bali di tahun 1930-an dan awal tahun 1940-an sebagai dokumentasi akan seni tari dan upacara keagamaan.
Pastikan juga untuk singgah di ruang koleksi keris yang terletak di lantai dua. Ruangan ini khusus memajang ratusan keris pusaka dari berbagai kerajaan di Bali dan keris karya empu masa kini yang berprestasi. Di dalam ruangan ini, lo akan menambah pengetahuan tentang sejarah kerajaan, bahan-bahan keris, anatomi tubuh keris, hingga proses cara membuat keris. Koleksi keris pusaka di Neka Art Museum secara umum berusia ratusan tahun dan diburu satu persatu.
Jam buka Neka Art Museum adalah 9 pagi hingga 5 sore. Namun, waktu terbaik untuk mengunjungi museum ini adalah di pagi hari atau sesaat setelah jam makan siang agar cuaca masih cukup adem.
Selamat berkunjung, Urbaners!
Comments