Berdiri sejak 2013 sampai sekarang, Delution nggak hanya menjadi spesialis hunian mini buat kaum urban, tetapi juga mencetak berbagai penghargaan kelas internasional untuk arsitektur masa kini. Penghargaan ini menjadi pengakuan bahwa firma arsitektur Indonesia nggak kalah keren dari firma luar negeri. Buktinya, Delution dinobatkan menjadi “Kantor Terbaik Se-Asia Pasifik” di Hong Kong tahun 2015, lalu mendapat penghargaan arsitektur di Jerman, Italia, dan Istanbul untuk kategori “Special Mention” dan “Gold Mention” pada tahun 2016. Baru-baru ini, pada tahun 2017 dan 2018, Delution juga menjadi pemenang penghargaan bidang arsitektural level dunia, yaitu Architizer.com dan Architecture Masterprize.
Terkait proyek 2020, Delution sedang dalam perencanaan membangun rumah tinggal di atas tanah seluas 60 m2 yang sangat unik di sebuah kompleks yang dikembangkan Delution Land. Kompleks ini akan menjadi pilot project di Indonesia yang mengusung konsep komunitas dan super green. Ingin tahu lebih banyak mengenai geliat Delution? Baca di sini!
Sejarah Panjang Mimpi Arsitektur yang Dinamis
“Dulu gue dan teman-teman mendirikan Delution di tahun 2013, dengan brand saat itu Delution Architect. Keinginan awalnya sederhana, karena pendirinya semua lulusan arsitek, kami pengennya punya kantor arsitek sendiri,” jelas Muhammad Egha, CEO dari Delution.
Tapi, pada momen tersebut, kondisi Indonesia menurut Egha belum mendukung arsitek muda untuk membangun karya ikonik dan Idealis. Bahkan, tantangan juga datang dari klien dan kontraktor yang belum punya perspektif sama dengan arsitek untuk merealisasikan bangunan-bangunan ikonik.
“Kebanyakan mereka hanya berpikir tentang fungsional dan gimmick-oriented saja. Jadi nggak jarang ketika kita beli properti di Indonesia, pasti hasil aslinya nggak sesuai dengan ekspektasi gambar,” kenang Egha.
Stres dengan kondisi ini, Egha dan tim melebarkan visi misi dari rencana awal. Ia mengembangkan sayap Delution menjadi grup bisnis yang di dalamnya mencakup layanan konsultan arsitek, kontraktor, developer, serta furnishing/mebel.
“Kalau kami semua punya resource-nya, kami bisa dengan leluasa mengambil keputusan tanpa harus terlibat konflik kepentingan,” tambahnya. Akhirnya, setelah proses merintis yang cukup panjang, di tahun 2019, Egha dan teman-temannya melakukan re-branding dengan nama The Delution Company.
The Delution Company membawahi empat unit bisnis bernama Delution (konsultan), Delution Build (konstruksi), Onel (retail furnishing), dan Delution Land (developer). “Gue dan teman-teman punya visi jangka panjang menghadirkan ruang-ruang ikonik, baik itu di rumah, kantor, bangunan, taman, ruang kota atau apapun itu. Kami ingin setiap ruang atau bangunan bisa memiliki nilai lebih di luar fungsionalnya,” jelas Egha. Yang awalnya hanya dinahkodai 3 founder, kini The Delution Company sudah berkembang dengan 125 anggota tim.
Penghargaan demi Penghargaan
Kerja keras dan idealisme tanpa henti adalah kunci Delution dalam meraup penghargaan demi penghargaan pada ajang arsitektur nasional maupun internasional. Salah satu award yang cukup prestisius adalah Architecture Masterprize untuk kategori Small Living.
Egha bercerita, penghargaan tersebut diberikan untuk proyek Splow House, sebuah pengerjaan rumah di Tebet yang menjadi viral di tahun 2017. “Rumah ini sudah dua kali menang penghargaan kelas dunia untuk kategori small living,” terang Egha. Juri menilai bahwa Delution mampu mengelola ruang yang matang di lahan sempit semaksimal mungkin—terutama di lokasi padat penduduk, seperti di Indonesia.
Penghargaan juga diperoleh secara personal ketika Egha didaulat sebagai Nominator Influencer bidang Arsitek dan Desain dari Kohler Bold Design Award di tingkat Asia pada tahun 2019. “Kalau penghargaan-penghargaan yang disebutkan tadi sifatnya lebih ke desain dan perencanaan. Salah satu penghargaan yang unik di tahun 2018 adalah dari Hitsss.com, yaitu ketika kami diganjar The Most Promising, Inspiring & Fastest Growing Creative Company untuk kategori desain,” terang Egha.
Kenapa ini menjadi berkesan? Soalnya penghargaan ini diberikan untuk perspektif di luar desain yaitu sisi entrepreneurship-nya. Nggak hanya “memburu” penghargaan, Delution juga mengerjakan proyek skala terkecil (rumah tinggal) sampai ke skala terbesar (hotel, gedung mall, dan masterplan). Namun, tentu saja setiap proyek dibungkus dengan nilai dari Delution, yaitu “Ikonik dan new paradigm tanpa melewatkan karakteristik dari masing-masing bangunan,” Egha menambahi.
Desain yang Baik Adalah…
Ketika ditanyakan mengenai desain yang baik seperti apa, Egha menjawab kalau desain sebenarnya merupakan sesuatu yang subjektif. Tentunya, pandangan dan selera antara desainer, arsitek, dan setiap orang pun berbeda-beda.
“Tapi kalau pada prinsipnya sih, desain yang baik nggak hanya bentuk simbol ego arsiteknya saja, namun juga memberikan manfaat sebesar-besarnya pada pemiliknya. Karena pada akhirnya, semua kembali kepada orang yang menggunakan kan?” kata Egha.
Sebelum menutup obrolan, alumni Universitas Bina Nusantara ini sempat menghaturkan harapan ke depannya The Delution Company semakin agresif menyebarkan bangunan ataupun ruang ikonik di mana saja dan membuka mata masyarakat perihal manfaat dari sebuah ruang yang ikonik.
“Kami juga ingin sekali menyelesaikan masalah besar di masyarakat Indonesia ataupun dunia mengenai global homeless. Ini terjadi karena bangunan masih menjadi produk mahal yang sulit terjangkau oleh masyarakat kelas bawah. Kami cukup intensif mengembangkan teknologi konstruksi yang pada akhirnya bisa menciptakan rumah ikonik, murah, dan pembangunannya cepat,” pungkasnya.
Penasaran melihat gebrakan paradigma arsitektur baru ala Delution? Coba aja kepoin Instagram-nya di @Delution_Architect, Urbaners!
Comments