Inspiring People
Jumat, 06 Oktober 2023

Taufiq Maulidin: Seniman Diorama yang Go Internasional

  • Share
  • fb-share
Taufiq Maulidin: Seniman Diorama yang Go Internasional

“Apapun minat dan hobi lo, yang penting konsisten dan cari temen. Sekarang ini zamannya kolaborasi bukan sekadar kompetisi,” obrolan ini yang ditekanin Taufiq Maulidin, pas gue tanya soal inspirasi dari seniman diorama lokal kelas internasional ini. 

Tapi ngelihat prestasinya sekarang, siapa sangka kalau Taufiq pernah jadi anak SD yang dulu disuruh keluar sama guru ngajinya karena enggak hafal surat pendek. Kondisi ini enggak lain karena disleksia yang dialaminya.

Untuk lo yang enggak tahu nih, disleksia itu kelainan di otak yang buat penderitanya jadi susah mempelajari suatu tulisan kayak baca, nulis, ngingat, atau berhitung. Tapi bukan berarti otak penderita disleksia itu berhenti berpikir kreatif, ya! Contoh aja Taufiq, yang bisa sukses berkarya seni diorama hingga diakui internasional dengan keterbatasan yang dimiliki.

 

Mulai dari Jual Karya di Media Sosial

Nah kalau cerita soal Taufiq yang sekarang, segudang prestasi kreasi diorama memang udah dia raih. Malah di tahun 2017, karya Taufiq pernah masuk di Singapore Book of Records sebagai karya sculpture terbesar yang dibuat dengan connector pen, lho. 

Selain itu, Taufiq juga pernah hype di media sosial karena karya diorama MRT Haji Nawi-nya, sampai diundang ngobrol di beberapa stasiun televisi swasta. Enggak cuma modal viral, karya-karya Taufiq juga udah ngisi display di banyak perusahaan, dijadikan koleksi sama para kolektor, sampai jadi incaran pehobi diecast.

Malah karya Taufiq enggak cuma dibeli sama konsumen lokal, tapi juga udah sampai ke Hong Kong, Singapura, Tiongkok, dan Kanada, lho. Dan kayaknya ini bakal terus bertambah, melihat keaktifan Taufiq di media sosial, salah satunya Youtube

“Dari gue menyadari betapa besar kekuatan media sosial, gue mulai bener-bener menekuninya dan nunjukkin karya-karya di media sosial dan ternyata berhasil,” cerita seniman yang bakal ikut pameran IDE (Indonesia Diecast Expo) 2023 di ICE BSD 28-29 Oktober ini.

Taufiq juga cerita kalau karya pertamanya itu dibeli lewat media sosial, yang pas waktu itu terjual seharga Rp2 juta. Melihat peluang yang menjanjikan dari hobi tersebut mulailah Taufiq rajin bikin konten.

Memang sih, pas waktu itu karya Taufiq yang lainnya enggak langsung booming dan laku. Tapi kayak yang dia sebutin di awal tadi, semua hobi itu perlu konsistensi dan ketekunan dari pengrajinnya.

“Gue sadar ini enggak mudah, karena gue merasakan sendiri, tapi ya kalau lo punya karya lo harus konsisten bikin dan publish karya lo di media sosial. Jangan cuma semangat di awal aja,” papar cowok yang dulu juga pernah kerja full time di Faber Castell ini.

 

Kelemahan yang Menjadi Kekuatan

Oh iya di awal, gue sempat nyinggung kalau Taufiq itu mengidap disleksia. Dan dia cerita kalau inilah yang buat dia sempat enggak naik kelas. “Gue kelas 1 SD-nya dua kali,” kenang Taufiq.

Ranking-nya selalu rendah, enggak bisa ngehafal, sampai susah ngehitung, pokoknya guru-guru sekolahnya punya keluhan yang sama tentang Taufiq. Laporan dari guru-gurunya ini juga yang buat orang tuanya bingung, kira-kira ada apa dengan Taufiq.

Nah sampai pada akhirnya Taufiq dibawa ke dokter anak sama orang tuanya untuk konsultasi. Disitu dokter bilang kalau Taufiq ada kecenderungan disleksia. Singkat cerita, untuk ngatasin keterlambatan belajarnya, dokter juga nyaranin supaya Taufiq diterapi seni. 

Dari situ, Taufiq akhirnya bisa kenalan sama seni sampai sekarang. Tapi, enggak langsung diorama, ya. Awalnya Taufiq cerita kalau dia suka gambar manga, utak-atik origami, sampai nyusun lego. Baru deh pas lulus dari SMK jurusan marketing, Taufiq akhirnya bisa kerja di Faber Castell selama 7 tahun.

Sesudah itu, Taufiq memang enggak langsung di tim kreatif dan main-main dengan diorama. Hidup enggak sesimpel itu, haha! Taufiq lanjut cerita kalau dia mulai kerja di bagian promosi. Sampai akhirnya, atasannya ngelihat skill Taufiq di bidang seni dan terakhirnya juga ngerjain multimedia. 

 

Enggak Mudah, Tapi Bisa Asal Berusaha

Seni yang awalnya adalah terapi adaptasi dengan dunia yang mainstream ini, akhirnya bisa jadi hobi untuk Taufiq. Bukan cuma hobi, sekarang kelihatan kan kalau seni juga bisa dijadiin sarana cari prestasi dan profesi sama Taufiq. Malah enggak cuma berhenti di diri sendiri, Taufiq juga mulai ngerangkul teman-teman kreatif lainnya untuk kolaborasi.

Taufiq sekarang ini juga udah punya tim sendiri, lho. Baik dalam hal buat konten di media sosial, maupun dari segi pengkaryaan diorama. Balik lagi sih, intinya sekarang adalah eranya kolaborasi untuk prestasi.

Kayak filosofi @artberuang yang Taufiq bangun di Instagram, artinya adalah art bisa ngehasilin uang. “Gue mau menekankan ke teman-teman seniman lain kalau dari seni juga bisa mandiri dan menghasilkan uang kok. Seni bukan cuma dilihat aja, tapi juga untuk hidup dan menghidupi,” tegas Taufiq.

Intinya sih peluang itu selalu ada. Apalagi di zaman serba digital dan kreatif kayak sekarang. Selalu ada celah yang bisa dipakai. Misalnya nih, mungkin lo ngira diorama cuma pajangan doang. Tapi ternyata banyak bidang yang perlu, salah satunya adalah industri perfilman.

“Gue enggak ngomong soal diorama aja sih, tapi juga segala lini. Kita itu selalu fokus dengan hasil tapi ogah menikmati proses. Nikmatilah proses. Terus lakuin dan pasti selalu ada jalannya kok!” tambah Taufiq mantap, menutup obrolan gue bareng dia.

Pada akhirnya, perjalanan Taufiq bisa dibilang juga enggak mudah sampai sedikit demi sedikit mulai ngehasilin mahakarya yang memesona. Filosofi ini menurut gue juga sama kayak diorama yang dibuatnya. Perlu waktu dan perjuangan untuk menjadi bentuk yang sekarang, tapi hasil akhirnya indah kan?

Yuk, dukung terus local greatness dengan membaca cerita-cerita inspiratif lainnya di MLDSPOT, ya. Jangan lupa juga untuk selalu login ke akun MLDSPOT lo pas baca semua artikel di sini buat dapetin poin yang bisa lo tukar sama hadiah-hadiah keren!

Comments
Riza Astuti
Seniman Diorama yang Go Internasional
Agus samanto
untuk hidup dan menghidupi,”