Perjalanan Morisade dari Panggung Car Free Day hingga Bikin Album Sendiri
Urbaners, karir bermusik di Indonesia memang nggak bisa dibilang gampang. Lo harus memulai segalanya dari nol, mencari kesempatan manggung, mengumpulkan fans, sampai bisa mengeluarkan karya-karya orisinil. Morisade adalah salah satu contoh suksesnya. Bermula dari manggung di kafe sampai car free day (CFD) Kota Malang, sekarang band ini sudah merilis album pertama pada Desember 2019 lalu.
Seru kan? Yuk, ikuti perjalanan bermusik mereka!
Ingin Tampil di Jalanan
Masih terbilang fresh, band asal Kota Malang ini baru dimulai pada 26 April 2019. Sebelum memakai nama Morisade, mereka dikenal dengan nama Morning Vibe. Trio Morisade terdiri dari Fahim pada vokal dan gitar, Mayedha pada bass, dan Nugie pada drum.
"Kami memulai karir band bersama sejak tahun 2012, sedangkan Nugie dan Mayedha sudah sejak 2006. Dulunya kami berlatih untuk bermain di kompetisi band, atau biasa disebut festivalan," ungkap Fahim. Morning Vibe sendiri sempat bermain secara reguler di cafe-cafe. Sampai pada akhir 2017, Fahim berinisiatif untuk mencoba tampil di jalanan atau busking. Sejak itu, setiap minggunya Morisade selalu 'ngamen' di CFD Kota Malang dengan membawakan lagu-lagu cover.
"Kami sering menawarkan penonton untuk memilih, antara lagu dari salah satu artis yang biasa di-cover banyak orang dan lagu artis favorit kami. Jawabannya selalu sama, mereka selalu memilih lagu dari artis yg lebih familiar," papar Morisade. Morning Vibe juga sempat membawakan lagu mereka sendiri saat busking, dan hasilnya penonton malah lebih sedikit. Dari situ mereka jadi tahu mana saja orang yang memang memberi mereka dukungan dalam berkarya.
Menampilkan musik di ajang mingguan CFD memang menyenangkan. Apalagi, karena Morisade bisa berinteraksi langsung dengan penonton dan mendapatkan beberapa pengalaman menarik. "Kami sempat dibayar dengan uang asing. Ada juga beberapa orang asing yang berhenti dan ingin bernyanyi bersama kami," kenang mereka.
Bikin Lagu Sendiri dan Ganti Nama
Sudah terlalu lama bersama dan terlalu sering membawakan lagu milik musisi lain, Morning Vibe kemudian memutuskan untuk serius membuat musik mereka sendiri. Bulan Februari 2018, ‘Fraction of Happiness’ jadi lagu yang pertama kali mereka lahirkan. Sejak ‘anak pertama’ tersebut, mereka merasa harus terus lanjut berkarya.
Pada akhir April 2019, Morning Vibe memutuskan untuk berganti nama dan melakukan rebranding menjadi Morisade. Nggak ada arti atau makna khusus dalam nama tersebut, mereka memilihnya karena terdengar lebih keren. "Karena tujuan awal Morning Vibe memang sudah jauh berbeda dengan tujuan dari apa yang kita lakukan saat itu," ungkap Morisade.
Pelan tapi Pasti ke Panggung yang Lebih Tinggi
Sejak serius menciptakan lagu sendiri, Morisade kemudian merasa bahwa mereka harus melanjutkan berkarya. Tak hanya satu lagu, mereka kemudian menulis dan mengaransemen beberapa lainnya, hingga akhirnya cukup untuk dijadikan satu album.
Dalam berkarya, masing-masing personil Morisade punya peran. Proses menulis lirik dan aransemen lagu mereka lakukan bersama-sama. Sementara untuk tim produksi Morisade sendiri, masih berganti-ganti perannya. Nggak jarang, mereka melibatkan teman-teman di luar band untuk membantu. "Kami selalu dibantu kawan-kawan sesama musisi di Malang setiap menjalani event, membuat acara, maupun membuat konten," ungkap mereka.
Sering tampil dalam festival, disambut hangat di CFD, hingga pada 2018 akhirnya Morisade naik ke panggung besar. Masih menyandang nama Morning Vibe, mereka bermain sebagai band pembuka dari Kelompok Penerbang Roket. Setelah itu, berlanjutlah mereka ke panggung-panggung besar lainnya. "Pada 9 Juni 2019, kami bermain sebagai band pembuka dari Feast. Saat itu, kami sudah mengusung nama Morisade," kenang mereka.
Terbiasa dinikmati oleh orang-orang yang hadir dalam lingkup kecil, tentu saja ada yang berbeda saat akhirnya Morisade tampil di panggung besar dengan ratusan atau bahkan ribuan penonton. Mereka merasa bahwa selama ini seharusnya Morisade memang berada di atmosfer tersebut.
"Kami ingin bernyanyi di hadapan penonton yang mendengarkan lagu kami sendiri. Selain itu, kami berusaha untuk menampilkan yang terbaik sebagai tanggung jawab moral sebagai seorang musisi. Kami rasa setiap musisi yang memiliki karya sendiri juga merasakan hal yang sama," tutur mereka.
Kelahiran Album Heterochromia
Setelah pertama kali membuat musik dan berganti nama menjadi Morisade, Fahim, Mayedha, dan Nugie kemudian lebih intens berkumpul dan membuat materi musik mereka sendiri. Karena merasa karya mereka layak, akhirnya mereka memutuskan untuk masuk studio dan rekaman.
"Kami berkumpul, biasanya sambil nongkrong di cafe. Apapun ide yang ada di kepala, kami sampaikan. Biasanya kerangka lagu diajukan oleh salah satu personil, kemudian kami bedah dan masukkan influence masing-masing personil," sambung Morisade. Fahim yang biasanya mengajukan kerangka lagu, baru kemudian Nugie membuat bentuk beat yang dirasa cocok, dan Mayedha mengajukan bentuk komposisi yang unik. Namun, ada beberapa lagu juga yang kerangkanya diajukan oleh Mayedha maupun Nugie.
"Sebenernya nggak ada rencana untuk sampai di album “Heterochromia”, karena pada awalnya kami hanya ingin membuat karya sendiri. Tapi, ketika mengerjakan lagu ketiga, barulah kami merasa bahwa album itu harus terjadi," ungkap mereka.
Akhir tahun 2019, setelah bekerja keras berbulan-bulan, lahirlah album Heterochromia yang berisi sebelas lagu tentang rasa frustasi diri dalam menghadapi kehidupan. Setiap lagu di dalamnya diilustrasikan dengan organ tubuh, yang merupakan representasi dari kesakitan itu. Lo harus dengerin langsung album mereka untuk mendapatkan feel-nya, Urbaners!
Heterochromia sendiri merupakan keadaan medis di mana warna mata pada manusia atau binatang berbeda antara kanan dan kiri. Hal ini menggambarkan bagaimana influence Morisade yang berbeda, jika disatukan dan dilihat secara keseluruhan, maka akan terasa indah. "Kelainan warna mata tersebut sekaligus menggambarkan dua perspektif yang berbeda di umur kami yang sekarang. Biasa disebut sebagai 'quarter life crisis', berisi dua jalur hidup yang tersedia: ingin hidup dalam keteraturan dalam mengejar kemapanan, atau hidup bebas dengan mengerjakan hal yang kami suka," papar Morisade.
Perspektif yang Berubah
Dulu, Morisade sama sekali nggak pernah memikirkan pentingnya tim produksi dalam sebuah band. Sejak serius bermusik, barulah mereka menyadari bahwa tim produksi adalah elemen yang sangat penting dalam proses berkarya dan tampil di panggung. Perspektif mereka pun berubah sejak mulai menggarap album dan punya banyak jadwal dari panggung satu ke lainnya.
Tentu, ada banyak hal lain yang juga berubah setelah mereka beranjak dari 'jalanan' dan masuk studio. "Kreatifitas kami lebih diperas karena kami berusaha lebih dari apa yang semula sudah kami ciptakan pada saat live show. Kami harus membangun image band kami di media, dan membangun sebuah tim produksi yang solid. Itu prioritas kami saat ini."
Nah, di awal perjalanan karir bermusik mereka yang lebih serius ini, Morisade pun punya harapan agar band ini dan karya-karyanya bisa lebih dikenal dan diapresiasi oleh publik. "Semoga project bermusik kami bisa menjadi penghidupan dari keseluruhan tim yang ada di Morisade, sehingga kami bisa terus melahirkan karya-karya baru. Pastinya kami berharap agar semua yang kita kerjakan bisa berjalan dengan lancar, karena kami hanya berusaha, semesta yang tentukan," tutur mereka.
Buat para Urbaners penikmat musik, Morisade juga punya harapan. Mereka ingin karya-karya ini diberi kesempatan untuk mempir ke kuping Lo. Mereka percaya bahwa musik yang diciptakan ini layak untuk lo dengar. "Juga bagi siapapun yang sudah memberikan apresiasi kepada Morisade sejak kami 'ngamen' hingga saat ini, kami ucapkan sebanyak-banyaknya terima kasih. Karena kalian, kami bisa berada di titik ini," ungkap mereka.
Yuk, dukung terus perkembangan band dan musisi Indonesia, Urbaners! Langsung aja dengerin karya Morisade di Spotify atau follow Instagram mereka @morisade.music!