Decky Bahyanoon: From Glossy TV Commercials to Chaotic Indie Films
Decky Bahyanoon bukan orang baru dalam perhelatan sinematografi mancanegara. Dalam profesi yang berhubungan dengan estetika gambar, Ia sudah melalui berbagai variasi, diam maupun bergerak. Dari iklan tv komersil sampai videoklip band Indonesia, dari film durasi pendek maupun panjang. Adapun karya-karya filmnya sudah terbukti mendapat beberapa penghargaan dalam dunia sinematografi lintas negara. Melalui wawancara ini, kami merangkum sepak terjangnya dari titik Ia mulai masuk ke dunia perfilman dan bagaimana karya-karyanya diakui oleh mancanegara, terutama melalui andilnya di belakang sebuah film.
Bagaimana Anda mulai terjun ke dunia sinematografi?
Jadi ada teman gue orang Jerman, mau bikin film pendek di Malaysia. Equipment terbatas, “gua minta semi outdoor semua” itu judulnya “Ramly at War Begins”. Udah kelar, terus film itu dikirimlah ke Action on Film International Festival (AOF) dan menang best fighting-nya. Lalu kita bikin film lagi, menang lagi di “Unsecured Loan II”. Setelah itu gua pulang, lalu mereka ada rencana bikin full film. Lalu bikinlah kita film, judulnya “Kinks”. Di film Kinks, semua crew-nya orang luar negeri. Dan di film ini gua sebagai sinematografer diuji. Salah satunya gua dihadapi dengan “gua suruh milih ada listrik tapi lampu engga kuat, atau ada listrik tapi lampu engga kuat karena mostly shooting kita di hutan, pokoknya daerah yang bawa genset susah, karena kita moving, filmnya itu mockumentary, film dalam film. Akhirnya gua minta lah equipment yang gua perlukan. Di situ juga gua sadar, kalo lo ngaku DOP (Director of Photography). Tapi itu, ampe mampus pun, kalo lo engga ngerti lampu, lo ga akan ngerti DOP. Lo gua kasih waktu belajar sejam, gua kasih kamera, jadi lo kameramen. Tapi yang gua pengen bilang di sini, bikin film itu mudah, kalo lo tau apa yang mau lo kerjain. Jadi kalo mengenai gue masuk sinematografi, dari situ awalnya. Kita kan di camera departement, jadi, ya, gua ngikut sutradara aja. Tapi rangkuman dari pengalaman gua ini, terlepas dari pengalaman lain tentang perkameraan. Gua mulai di dunia film dari situ.
Project film paling belakang Anda? Ada next project?
Yes, terakhir itu the “Train Station”. Itu sekaligus konsep film yang paling bagus menurut gua. Itu melibatkan beberapa negara juga. Kalo ngomong next project, yang offer sih ada aja, hahaha. Ada beberapa yang masuk. Ya, we’ll see, hehe.
Adakah shot paling sulit yang pernah Anda ambil?
Oh, pertama kali gua ngerjain film action. Di scene fighting ya, jadi gua harus treatment beda juga. Mereka (tim film) baru pertama kali bikin koreografi fighting, gua pertama kali jadi cameraman untuk film fighting, sama-sama belajar dong. Gua juga sambil belajar lagi, nyari referensi sana-sini lagi. Jadinya akhirnya waktu itu kita milih banyak pemakaian gambar cut to cut. Dan pada masa itu gua belajar, kalo di luar negeri mereka koreografernya engga cuman buat fighter-nya, tapi ada movement juga buat para cameraman. Walaupun fighting scene-nya menang penghargaan, gua kurang puas. Adegan berantem itu kebanyakan sekatnya. Nah, next project, pas gua bikin “Unsecured Loan II”, timnya kebetulan sama, gua menyarankan ke sutradaranya pake long cut untuk fighting scene. Kenapa gua saran untuk pake long cut/take itu, karena (adegan) berantem seperti itu engga ada berhentinya. Kalo yang kemarin kan pukul dikit, cut, pukul dikit, cut. Jadi raw, terusin aja satu menit. Hasilnya beda, lebih real.
Apa aspek paling menantang dalam membuat film?
Gua punya ketakutan engga bisa deliver gambar sesuai dengan script, karena banyak orang minta “bikinin aja” tapi engga sesuai. Gua sebetulnya orang yang engga terlalu suka hand-held, apalagi steady cam, kamera-kamera yang kayak gitu-gitu gua engga suka. Kecuali kita waktu bikin script-nya memang sudah kita belah (tentukan), scene ini harus pake steady cam, jadi lo pake gear itu ada alasan. Atau misalnya adegan dialog pake hand-held, itu beda lho “rasa”nya. Jadi ada formula-formula yang gue bikin. Bukan gua bilang formula yang gua bikin itu 100% benar ya, tapi it worked sejauh ini, paling engga buat gue sama buat sutradaranya. Intinya kalo ditanya itu, gue paling takut engga deliver visualnya, gua engga bisa menjelaskan bahasa sinema itu sendiri. Jadi misalnya semuanya proses sudah benar, tapi secara visual engga benar.
Tipe/genre film seperti apa yang ingin/tertarik sekali Anda buat, yang belum pernah Anda kerjakan?
Gua pengen buat film drama sebetulnya. Sejauh ini kan gua bikin action, penuh violence gitu, hahaha. Kenapa gua mau buat drama? Skill-nya lebih banyak. Drama yang benar itu ya, segala aspeknya harus bagus. Itu skill-nya terpakai semua lho. Kalo lo liat film “Legends of the Fall” itu si Brad Pitt, berapa jam itu filmnya, lama, tapi engga bosen. Dan di negara kita ini ya laku kan ya, hahaha. Tapi ya itu, bikinlah (film drama) yang baik dan benar.
Pengalaman lo yang terangkum selama mengurus “from glossy TC commercials to chaotic indie films” –dikutip dari bio linked in Decky Bahyanoon–, apa pelajaran yang bisa kami dapatkan?
Jadi banyak sekali yang namanya instant filmmaker, tapi ya, gimana lo mau menguasai sesuatu kalo basic-nya aja lo engga menguasai. Terus yang penting, pengalaman itu engga cukup at the end, iya jam terbang bagus, tetapi kalo cuman jam terbang tanpa skill engga jadi apa-apaan. Bukan gua bilang harus sekolah, tapi kalo misalnya jam terbang lo tinggi tapi lo engga ngasah skill lo, engga jadi apa-apaan, karena perkembang teknologinya pun cepet banget sekarang.