Trending
Senin, 18 Januari 2016

Tuts, Seniman Graffiti Indonesia yang Mendunia

  • Share
  • fb-share
Tuts, Seniman Graffiti Indonesia yang Mendunia

Urbaners, lo pernah menemui coretan gambar atau tulisan warna-warni di berbagai tembok perkotaan? Mereka disebut dengan graffiti, yang merupakan salah satu bagian dari street art. Di Indonesia, graffiti masih kerap dianggap sebagai aksi vandalisme. Padahal, tahukah lo bahwa negara kita menjadi tempat favorit para seniman graffiti internasional? Prestasi tersebut nggak terlepas dari Tuts, salah satu seniman graffiti Indonesia yang namanya udah cukup senior.

Melanglang Buana Hingga Kancah Dunia

Tuts mulai tertarik dengan dunia graffiti pada awal tahun 2000-an. Ia dikenalkan oleh teman-temannya dari sekolah internasional di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Hobinya tersebut berhasil membawanya melanglang buana hingga Taiwan dan Selandia Baru untuk menjadi penggambar graffiti jalanan. Indonesia bahkan sempat menjadi spot paling hot untuk menggambar graffiti pada tahun 2010 lalu.

Para seniman graffiti dari luar negeri menganggap bahwa Indonesia memiliki “kanvas” idaman, terutama dalam hal kemudahan berkarya pada berbagai tembok perkotaan. Ada beberapa dari mereka yang pernah diundang ke Jakarta untuk menggambar graffiti. Mereka menyebut kunjungannya tersebut sebagai spraycation, yakni liburan (vacation) sambil mengecat.  

 

Selalu Mencantumkan Unsur Budaya Indonesia

Seni graffiti berasal dari New York dan mulai masuk ke Indonesia pada tahun 1999. Meski begitu, seniman Indonesia selalu mencantumkan ciri khas budaya negara kita pada karya-karya graffiti mereka. Justru ciri khas tersebut lah yang membuat para seniman graffiti lokal dikenal hingga mancanegara. Tuts dan sesama seniman graffiti lainnya selalu saling mengingatkan, bahwa se-hip-hop apapun gaya graffiti yang dimunculkan, mereka tetap bagian dari Indonesia.

 

Nggak Berhenti Meski Jadi Kontroversi

Graffiti masih identik dengan aksi vandalisme karena tidak adanya izin untuk menggambar di ruang publik. Tuts dan seniman lainnya sangat menyadari hal tersebut. Itulah mengapa mereka selalu menghindari bangunan bersejarah, seperti museum atau monumen. Tuts juga memilih tembok berpenampilan kusam di kawasan sub-urban yang kurang terawat. Ia merasa lebih tertantang untuk menghasilkan graffiti yang bagus. Selain itu, karyanya bisa berfungsi untuk memperindah kawasan sub-urban tersebut.

Adanya kontroversi itulah yang membuat graffiti tetap “hidup”. Tetapi, Tuts dan seniman graffiti lain selalu berharap agar pemerintah Indonesia bisa bersikap lebih terbuka dan memberikan lahan bagi mereka untuk berekspresi. Dengan begitu, para pemula pun dapat berlatih untuk mengasah skill mereka.

 

Source: cnnindonesia.com, www.doeith.com

Comments
Ricko Pratama Putra
Melanglang Buana Hingga Kancah Dunia
Epul Saepuloh
Seniman Graffiti