Kemajemukan rasa menjadi tema sentral di album kedua bertajuk “Persona” milik band Skastra. Lewat album ini, Alduri dan teman-teman yang tergabung dalam Skastra ingin menekankan bahwa, walaupun terkadang kemajemukan menjadi pemicu masalah, tetapi hal itu bisa memperkaya warna dalam kehidupan.
Berdiri sejak 2015, Skastra masih mengandalkan upaya swasembada dalam hal produksi album. Meski begitu, Skastra tetap optimis menjadikan musik sebagai passion dan jalan hidup. Dukungan dari fanbase-nya yang kerap dijuluki Muda-mudi Skastra, membuat Alduri dan personel yang lain semakin bergairah menyebarkan ‘virus’ ska. Simak cerita lengkapnya di sini yuk!
Bermula dari FIB UI
Sebelum ngobrolin lebih dalam tentang album Persona, ada baiknya melakukan kilas balik ke belakang mengenai sejarah Skastra sendiri, bagaimana awal mula mereka memutuskan untuk bermusik. “Mayoritas personel Skastra berasal dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI). Sebagian dari kami pernah nge-band bareng, tapi ada juga yang hanya sekedar kenal,” cerita Alduri mengawali perbincangan.
Pertama kali kumpul, nama bandnya juga bukan Skastra dan belum bawain musik ska, malahan justru arahnya lebih ke alternatif rock. “Pada akhirnya, kami memutuskan pindah haluan ke ska dan utuh menjadi Skastra di akhir tahun 2015,” tambah Alduri lagi. Konsep Skastra sendiri adalah ska dan rocksteady, tapi dengan rasa-rasa baru di setiap lagunya. Selalu ada campuran dari genre lain, sehingga musik dari Skastra nggak membosankan dan tetap ‘masuk’ dengan mood musik saat ini.
Saat ini, personel lengkap Skastra terdiri dari Alduri Asfirna (vokal), Ibrahim Rahman (drum), Rasmana Raga (bass), Adi Ahdiat (gitar), Fazrin Mustakin (gitar), Hanung Teguh Wibawa (keyboard), Taufiq Alkatiri (trumpet), dan Faris Sutowijoyo (trombone). Selain bermusik, sebagian personel memiliki pekerjaan lain. Ada yang bekerja di perusahaan startup, media, sampai bergabung di agensi. Tapi, ada juga personel yang menerjunkan diri secara full time di musik.
Pun begitu, di tengah kesibukan masing-masing, Skastra sukses meluncurkan album perdananya “Minor 7” pada tahun 2017 dan kembali hadir dengan album kedua Persona yang dirilis akhir 2019 lalu. Ada 10 lagu yang termuat di dalam album tersebut. Beberapa lagunya yang wajib lo dengarkan adalah ‘Cepat-Cepat’, ‘Banjaroya’, ‘Jalan Berliku’, dan ‘Nelangsa’.
Kompleksnya Album Persona
Buat para pendengar Skastra, mungkin lo bisa merasakan sedikit perbedaan antara album pertama dan kedua. Untuk Persona, ada yang bilang liriknya lebih puitis dengan pemaknaan yang lebih mendalam dibanding album sebelumnya.
“Sebenarnya puitis atau nggaknya lirik Skastra itu tergantung pemaknaan pendengar saja. Kalau menurut kami sendiri sih, dari segi lirik, album Persona atau Minor 7 nggak jauh beda, sama-sama curhat terselubung,” terang Rasmana Raga.
Adi Ahdiat menambahi obrolan mengenai puitis dan nggak puitis ini dengan cerita tentang penyair Sutardji Calzoum Bachri yang pernah menulis puisi berjudul “Luka”. “Isi puisinya cuma satu kata yaitu ‘haha”. Itu puitis nggak? 'Luka' dan 'haha' itu kan kata pasaran banget ya. Tapi saat ditulis Sutardji, dua kata itu jadi puitis, dalam artian mengalami perkembangan makna melampaui arti harafiah,” ungkap Adi.
Dari segi teknis, mereka berdelapan mengaku bahwa album Persona sedikit lebih kompleks, mulai dari aransemen sampai harmonisasinya. Album kedua ini bisa dibilang lebih terkontrol pada porsi, dan setiap instrumen mendapatkan highlight di semua lagu, tanpa mengurangi esensi dari lagu itu sendiri.
Menemukan Pasar dan Pendengar
Skastra sempat cerita sedikit soal pergulatan merintis band indie di dunia musik Indonesia. Tantangan terberat bisa dibilang adalah menemukan pasar dan pendengarnya. Ditambah lagi, umumnya ketika mendengar kata Ska, orang-orang biasanya langsung merujuk pada satu atau dua band saja.
“Sejauh ini, kami bersyukur banget makin lama makin banyak yang mendengarkan Skastra, terutama dari teman-teman yang sampai bikin fan base. Datang di tiap gig, support dan nyebarin lagu-lagu Skastra. Kami merasa cara terbaik untuk berkembang adalah manage online dan offline presence sih, entah itu di sosial media atau di realita,” terang mereka.
Selain soal pencarian fans, produksi dan persoalan publikasi juga menjadi tantangan. Dengan semakin terbukanya akses untuk membuat rekaman dan lagu-lagu, mereka harus berhati-hati menjaga kualitas musik yang dihasilkan. “Mentang-mentang rekamannya gampang, jangan sampai ngegampangin bikin lagunya juga. Publikasi menurut kami yang paling krusial sih, kalau indie ya harus lebih mandiri dan gerilya buat pemasaran band dan lagu-lagunya,” komentar Hanung Teguh.
Walau dilanda banyak tantangan, delapan anggota Skastra yakin bahwa musik masih menjadi ladang menjanjikan untuk ditekuni. Ada banyak potensi dan kesempatan yang tersedia, asalkan mereka memberikan usaha, latihan, koneksi, dan komitmen ekstra di setiap waktu.
Intinya sih kalau menurut Skastra, jangan pernah berhenti belajar. Jika memang passion-nya di musik, pilihlah musik yang paling lo suka dan pelajari sebanyak mungkin, mulai dari instrumen, musik, sampai ke pasarnya.
Tertarik untuk mendengarkan musik-musik Skastra? Cek kegiatan dan jadwal panggung mereka di @skastra, Urbaners!
Comments