Perhelatan LIFEs (Literature & Ideas Festival) yang diadakan di Komunitas Salihara (12-20 Oktober 2019) meninggalkan kesan yang puitis dan humanis. Ada banyak workshop, diskusi, pertunjukan, pameran dalam waktu seminggu di akhir Oktober ini. Tentunya semua rangkaian acara tersebut meninggalkan kesan-kesan yang spesial, Urbaners. Kalau boleh menilai, ada dua yang cukup istimewa yaitu Dua Lakon Satu Malam dan Poétique Ensemble. Simak review-nya di sini, yuk!
Dua Lakon Satu Malam
Dua Lakon Satu Malam dibawakan pada Kamis (17/10) oleh seniman lintas negara; Indonesia dan Belanda. Sesuai namanya, pertunjukan ini menampilan dua lakon. Lakon pertama dibawakan oleh Angelina Eny (Indonesia) dan Robin Block (Belanda). Lakon yang dibawakan bertajuk Sebuah Antara.
Penampilan keduanya cukup unik! Mereka mempertontonkan puisi, dialog, sembari bergerak, bahkan menunjukkan pencak silat. Melengkapi penampilan mereka, ada slide berisi gambar yang mempertegas cerita yang disampaikan Angelina dan Robin.
Sebuah Antara adalah pergulatan dua anak manusia yang dibedakan oleh etnis kebangsaan. Yang satu Indonesia, yang satu Belanda. Yang satu terjajah, sedang yang lain menjajah. Ada pertentangan yang sulit diterima karena masing-masing membawa identitas yang sangat bertolak-belakang.
Pentas Sebuah Antara berusaha menyampaikan pesan, perbedaan tersebut hanyalah garis yang seharusnya bisa dilampaui kalau ada yang mau mengalah. Toh, kebangsaan sifatnya genetik dan sebuah pemahaman yang belum tentu harus dijalankan selamanya.
Belajar dari Sejarah
Sebuah Antara berusaha meyakinkan, kalau sejarah sudah semestinya diambil hikmahnya. Jangan terus menyebar kebencian tak berkesudahan. Karena dalam sebuah kolonialisme, apa pun warga negara lo, rakyat sipil selalu jadi pihak yang dikorbankan.
Setelah terharu-biru dengan penampilan epik dari Angelina dan Robin, dalam panggung yang sama, Aziz Azthar (Indonesia) dan Esmay Usmany ( Belanda) membawakan “Who Am I?”. Dalam lakon ini, keduanya saling berbalas-balasan, membacakan cerita, bernyanyi, dan mengenai pengalaman masa kecil dengan benang merah nenek.
Aziz dan Esmay berkolaborasi menampilkan kisah hidup bagaimana peran seorang nenek dalam perubahan jalan hidup mereka. Cukup panjang dan sedikit klise, namun intinya adalah lo nggak bisa meniadakan peran-peran keluarga lo, karena it’s already in your blood. Yang bisa lo lakukan adalah terus maju dan jangan sampai lo kehilangan jiwa lo, hanya karena sibuk menjadi seperti apa yang diinginkan atau diharapkan orang lain.
Poétique Ensemble
Penampilan Poétique Ensemble yang dibawakan oleh Diptyque Théâtre, trio seniman asal Prancis adalah sesuatu yang istimewa. Menjadi bagian dari rangkaian penutupan LIFEs, Matthias Gault,
Ayouba Ali, dan Mona El Yafi membawakan puisi-puisi cemerlang karya Eugène Durif, di Minggu (20/10).
Matthias memainkan biola dengan cara yang free-style. Terkadang memetiknya seperti gitar, mengetuknya seumpama drum, menjalankan jari-jarinya secara liar dari ujung ke ujung menyerupai kaki menapak, sampai memainkannya secara original—dengan dawainya.
Kalau ada yang menyebutkan musik adalah bahasa universal, nyatanya pengalaman mendengarkan Poétique Ensemble adalah bukti nyata lo nggak butuh memahami sebuah bahasa untuk menikmati keindahan musiknya.
Tema-tema yang dibawakan oleh Diptyque Théâtre adalah cinta, kematian, kehilangan, dan komedi kehidupan. Seringnya Mona membacakan puisi Eugène Durif, kemudian Matthias dan Ayouba membahasakannya melalui musik. Ayouba juga bersenandung, menjadi latar musik bagi puisi yang dibacakan oleh Mona. Sangat magis dan klimaks!
Menyanyikan Puisi untuk Menikmati Lebih Lagi
Apakah menyanyikan puisi adalah sesuatu yang baru di Indonesia? Jawabannya nggak! Sapardi Djoko Darmono adalah salah satu penyair hebat Indonesia yang puisi-puisinya sering dinyanyikan
oleh AriReda. Kemudian ada Banda Neira juga yang menyanyikan puisi Chairil Anwar berjudul Derai-Derai Cemara dan Anji yang membawakan Kepada Hawa milik Aan Mansyur.
Puisi yang dinyanyikan membuat pembacaan puisi menjadi sesuatu yang nggak biasa. Lebih hidup, dan bernyawa. Yang dilakukan oleh Diptyque Théâtre bisa jadi sama dengan yang dilakukan AriReda, Banda Neira, dan Anji. Hanya saja, Diptyque Théâtrel lebih bebas, spontan, dan free-style.
Nggak sekadar menyanyikan tetapi juga membunyikan suara apapun yang dirasa sesuai, senada, untuk memaksimalkan nyawa puisi-puisi tersebut. Nggak jarang Ayouba hanya bergumam, Mona berujar “hah” yang halus, dan Matthias mengetukkan jemarinya. Penampilan ini memukau, cukup untuk meluaskan kerangka berpikir umum dan bagaimana menciptakan dan menikmati seni lebih luas dan dalam lagi.
Pentas menawan ini menutup perhelatan LIFEs (Literature and Ideas Festival) di Salihara dengan meriah. Keren banget kan, Urbaners? Semoga LIFEs di tahun depan menyajikan semakin banyak pentas, lokakarya, dan apresiasi seni yang menarik demi pecinta seni di Indonesia!
Comments