“Musik adalah nafas gue, gue nggak bisa berpikir bakal menghabiskan waktu tanpa musik,” cerita si musisi muda cemerlang Nadin Amizah. Sebentar lagi menginjak usia 20 tahun, Nadin mengaku nggak menyangka kalau kesedihan yang dituangkan dalam lagu-lagu yang ditulisnya begitu membekas di hati pendengar.
“Gue cukup parah untuk menuliskan lagu di saat-saat bahagia. Gue harus rusak, patah, dan sedih dulu untuk menulis lagu. Gue berharap ke depannya, gue bisa menulis hal-hal yang cantik, menggembirakan, dan nggak perlu menangis dulu untuk bisa menulis,” jelas Nadin Amizah.
Lirik yang “Matang”
“Tidak pernah sepenuhnya sembuh dari luka”
“Kau manusia sedikit kata”
“Dua puluh empat tujuh tanpa henti”
Itulah petikan lagu dari tiga lagu Nadin Amizah yang relatable bagi para pendengarnya, yaitu lagu Seperti Tulang, Sorai, dan Rumpang. Percaya nggak percaya, Nadin masih berusia belasan saat menuliskan lirik-lirik lagu dalam dan mature ini, lho Urbaners!
Ketika awal kemunculannya di dunia musik Indonesia, nggak ada yang menyangka kalau lagu-lagu puitis berisi ini ditulis oleh seorang gadis muda. Terlebih, pesan dalam setiap lagunya mengandung kegundahan dan keruwetan yang sangat kompleks.
Begitu beratkah beban cinta yang dirasakan oleh sang penulis lagu sampai bisa menulis lirik yang begitu menyentuh inti tulang tersebut? “Iya, gue memang sering mendapat julukan old soul. Gue malah sering nggak nyambung kalau ngobrol dengan teman-teman seusia,” demikian pengakuannya.
Namun bagi Nadin, ketimpangan tersebut nggak lantas disesalinya karena membuat dia berbeda. “Yah, beginilah gue, walaupun isi kepala gue berbeda dengan kebanyakan anak seusia gue. I like me,” jelas teman duet Sal Priadi untuk Amin Paling Serius ini.
Menurutnya kematangan lirik-lirik lagu yang ditulisnya nggak lain karena ada banyak peristiwa yang dilalui dirinya sejak kecil hingga masa sekarang. Pengalaman ini turut menginspirasi Nadin dalam memilih kata-kata. “Gue suka baca buku-buku puisi dan nasihat-nasihat bunda juga sangat menginspirasi, apalagi bunda orangnya sangat linguistik,” tambah Nadin lagi.
All Good Mengubah Segalanya
Kalau ditanya momen paling berkesan dalam perjalanan kariernya, Nadin nggak bisa menampik kalau duet All Good bareng Dipha Barus adalah momentum yang mengubah hidupnya. “Kalau gue nggak ada di All Good, wawancara ini nggak mungkin berlangsung,” kenang Nadin.
Ternyata, sejak SMP Nadin sudah mulai tertarik dengan dunia seni. Beranjak SMA pun dia tetap menyenangi musik namun nggak paham bagaimana perkembangan musik dan apa yang harus dilakukan supaya “terlihat”. Mengingat masa-masa membingungkannya tersebut, Nadin mengaku Dipha Barus dan Gamal adalah dua pembimbingnya dalam berkarier di dunia musik dan masih berlangsung sampai sekarang.
Semenjak musik menjadi denyut yang berdetak di nadinya, Nadin ingin menjalani musik selamanya. “Gue happy bisa mengeluarkan karya, tapi kebanggaan terbesar buat gue adalah ketika musik gue bisa menyentuh pendengar. Ketika mereka menangis saat gue bernyanyi, di momen itu gue sadar ini adalah purpose of my life,” ujarnya.
Kesedihan, patah hati, mostly memang menjadi tema sentral dalam setiap lirik lagu Nadin. Namun dia berharap besar ke depannya dia bisa nggak hanya menulis lirik-lirik yang pedih tetapi juga menggembirakan. “Gue sampai bilang sama bunda, gue nggak mau mati dalam kesedihan karena terus-menerus menulis tentang yang patah,” cerita Nadin.
Musik Memberikan Jutaan Pengalaman Baru
Bagi Nadin, Industri musik adalah medium yang membuatnya merasakan berjuta-juta sensasi dan pengalaman. Bertemu orang-orang baru, juga merasakan hal-hal yang nggak mungkin dirasakannya kalau dia nggak masuk ke dunia musik.
“Gue merasakan hotel bintang lima sampai penginapan dengan kecoak. Gue merasakan di atas baru di bawah. Gue kebanyakan pengalaman nih, sampai takutnya lama-lama gue jadi nenek-nenek saking old soulnya hehehe,” kata Nadin bercanda.
Kini, lagunya sudah wara-wiri menjadi OST film. Tawaran untuk main film pun juga datang. Namun, Nadin nggak gegabah dan segera mengambil kesempatan tersebut. Ngakunya, dia nggak mau merepotkan diri sendiri, apalagi statusnya sekarang mahasiswi dan penyanyi sudah cukup membuat dirinya sibuk sana-sini. “Gue nggak mau menyusahkan diri sendiri dengan menambah-nambahi jadwal yang sudah padat,” katanya.
Meski begitu, Nadin nggak lantas menutup kesempatan untuk pengalaman baru itu. Kelak ketika semesta memanggil, tentu yang bisa dia lakukan adalah menjawab dan mengerjakan. Persis seperti ketika musik datang mengajaknya untuk memintal bintang dan menyemarakkan langit pula menemani bulan. “Kita nggak pernah memiliki sesuatu, sesuatu adalah milik semesta, yang bisa kita lakukan adalah mengerjakan bagian dari perjalanan sakral sebuah kehidupan,” tutupnya penuh makna.
Comments