Pada tanggal 8-14 Oktober 2016 lalu, Busan International Film Festival (BIFF) ke-21 digelar di Korea Selatan. BIFF merupakan salah satu ajang perfilman paling bergengsi di dunia, khususnya wilayah Asia. Kabar baiknya, ada enam film Indonesia yang turut ditayangkan pada BII ke-21 kemarin.
On the Origin of Fear
Film yang disutradarai oleh Bayu Prihantoro ini bercerita tentang keterlibatan seorang pria dalam pembuatan film propaganda sejarah Gerakan 30 September. Berperan sebagai penyiksa sekaligus korban dalam propaganda terebut, pria ini pun mengalami trauma hebat yang mengakibatkan adanya pengaburan realitas diri.
Headshot
Sebelumnya, film Headshot sudah pernah diputar di berbagai festival film internasional lain, seperti Mayhem Film Festival 2016 dan Letrange Festival Paris 2016. Film ini bercerita tentang seorang pria yang mengalami amnesia. Seorang dokter bernama Ailin pun membantunya dan memberinya nama Ishmaeel. Ternyata, identitas Ishameel terkait dengan masa lalu yang berbahaya dan mengancam jiwa Ailin. Ishmaeel pun berusaha untuk menyelamatkan dokternya.
Istirahatlah, Kata-kata
Di BIFF ke-21, Istirahatlah Kata-kata diberi judul baru Solo, Solitude. Film ini mengangkat isu Hak Asasi Manusia yang terkait dengan menghilangnya Widji Thukul, seorang aktivis pada zaman orde baru. Sebagai sutradara, Yosep Anggi Noen sebelumnya pernah meraih penghargaan Sonje Awars dari BIFF 2013 untuk film A Lady Caddy Who Never Saw a Hole in One.
Memoria
Hingga kini, masih banyak terjadi kekerasan seksual pada wanita, baik yang sudah terdeteksi maupun belum. Melalui Memoria, Kamilia Andini selaku sutradara berusaha mengangkat cerita tentang seorang perempuan bernama Maria yang menjadi korban kekerasan seksual saat terjadi konflik Timor Timur.
Nyai
Dengan judul Bahasa Inggris A Woman from Java, film Nyai bercerita tentang seorang perempuan Jawa yang kehilangan identitas dan dipanggil dengan sebutan Nyai. Menggunakan setting masa kolonial Belanda pada tahun 1927, film yang disutradarai Garin Nugroho ini menggambarkan betapa terkekangnya Nyai akibat konflik budaya antara Belanda dan tradisi Jawa.
Emma’
Diadaptasi dari novel Alberthiene Indah berjudul Athirah, Riri Riza selaku sutradara mengangkat isu poligami yang wajar terjadi di Indonesia pada era 1930-1970. Mengambil setting di Sulawesi, Emma’, yang dalam Bahasa Inggris berarti Mother, bercerita tentang konflik keluarga yang terjadi akibat poligami tersebut.
Keterlibatan film Indonesia pada ajang BIFF ke-21 tidak terlepas dari dukungan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Bekraf berharap bahwa pamor film Indonesia bisa meningkat dan para pembuat film semakin termotivasi untuk bersaing di pasar internasional.
Sources: Goodnewsfromindonesia.org, Solopos.com, Straight.com
Comments